Gelombang masif Pembangunan Infrastruktur di Indonesia, seperti jalan tol, bandara, dan bendungan, seringkali disorot sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Namun, di balik narasi kemajuan ini, tersembunyi dampak serius terhadap petani kecil. Proyek-proyek ini memerlukan pengadaan lahan yang luas, seringkali menggusur petani dari tanah garapan yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan dan warisan turun-temurun mereka.
Isu utama yang dihadapi petani adalah ganti rugi yang tidak sebanding. Meskipun undang-undang menjamin kompensasi yang layak, dalam praktiknya, nilai ganti rugi seringkali di bawah harga pasar atau tidak mencukupi untuk membeli lahan produktif baru di lokasi lain. Akibatnya, petani kehilangan aset utamanya dan terpaksa meninggalkan profesi mereka, menjadi buruh serabutan di kota.
Proses pembebasan lahan dalam Pembangunan Infrastruktur juga kerap memicu konflik. Kurangnya transparansi, negosiasi yang tidak adil, dan tekanan dari pihak pengembang seringkali membuat petani berada dalam posisi tawar yang lemah. Kondisi ini merusak ikatan sosial di pedesaan dan menimbulkan ketidakpastian hukum atas hak kepemilikan lahan mereka.
Dampak dari Pembangunan Infrastruktur tidak hanya sebatas kehilangan tanah, tetapi juga hilangnya mata pencaharian tradisional. Sawah dan kebun yang dialihfungsikan merusak ekosistem pertanian lokal dan menghilangkan kearifan lokal. Petani kehilangan identitas mereka sebagai produsen pangan, beralih menjadi konsumen yang rentan terhadap gejolak harga komoditas.
Untuk memitigasi dampak negatif ini, diperlukan pendekatan yang lebih humanis dan adil. Kompensasi harus mencakup tidak hanya nilai tanah, tetapi juga nilai ekonomi dari hasil pertanian yang hilang dan biaya transisi kehidupan. Pemerintah harus memastikan bahwa petani menerima paket pelatihan dan akses modal untuk memulai usaha baru.
Aspek lain yang harus dipertimbangkan adalah pengadaan lahan yang lebih berkelanjutan. Pembangunan Infrastruktur seharusnya memprioritaskan penggunaan lahan non-produktif atau milik negara terlebih dahulu. Jika harus menggunakan lahan pertanian, prosesnya wajib melibatkan musyawarah yang setara dan transparan dari tahap perencanaan awal.
Diperlukan peran aktif Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lembaga terkait untuk memastikan bahwa dana ganti rugi dimanfaatkan secara produktif oleh petani. Pendampingan finansial dan program literasi keuangan dapat membantu petani mengelola dana tersebut agar tidak habis dengan cepat dan dapat dialihkan untuk investasi jangka panjang.
Kesimpulannya, Pembangunan Infrastruktur memang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan kesejahteraan petani kecil. Kebijakan harus menjamin bahwa kemajuan nasional tidak dibangun di atas penderitaan masyarakat paling rentan. Pembangunan harus inklusif, memastikan bahwa petani tidak kehilangan tanah dan martabat mereka dalam proses modernisasi.