Kerentanan Nusantara sebelum tahun 1596 bukanlah karena kelemahan militer semata, tetapi berakar pada fragmentasi kekuasaan dan persaingan internal yang akut. Analisis Politik menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan besar, seperti sisa-sisa Majapahit dan kerajaan Islam yang baru muncul, sering berkonflik demi supremasi ekonomi dan politik regional.
Kondisi politik di abad ke-16 ditandai oleh pergeseran kekuatan regional yang intens. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511 memicu perebutan kendali jalur rempah antara Aceh, Johor, dan kerajaan di Jawa. Analisis Politik ini mengungkap bahwa tidak ada satu hegemoni tunggal yang mengikat seluruh kepulauan secara stabil.
Persaingan antarkerajaan ini menciptakan celah yang besar. Para penguasa lokal cenderung fokus pada konflik terdekat mereka, gagal membentuk aliansi strategis yang kuat dan terpadu untuk menghadapi ancaman Eropa yang lebih terorganisir. Mereka tidak melihat kekuatan asing sebagai ancaman eksistensial bersama.
Portugis, dan kemudian Belanda, sangat lihai memanfaatkan kondisi ini. Mereka menerapkan taktik Devide et Impera (pecah belah dan kuasai) dengan sangat efektif. Mereka menjalin perjanjian dagang dan militer dengan satu kerajaan untuk melawan kerajaan saingannya, memperparah fragmentasi politik yang sudah ada.
Analisis Politik internal juga menunjukkan masalah suksesi dan faksionalisme dalam istana. Perselisihan antaranggota keluarga kerajaan atau bangsawan sering terjadi. Pihak Eropa, terutama VOC, kemudian mendukung faksi yang lemah atau yang memberontak, sebagai imbalan konsesi dagang atau teritori.
Selain itu, sifat ekonomi maritim Nusantara yang terdesentralisasi, di mana setiap pelabuhan dan kerajaan berlomba menjual rempah-rempah ke pedagang asing, mencegah terwujudnya monopoli terpusat yang bisa menahan daya tawar Eropa. Setiap penguasa hanya mementingkan keuntungan jangka pendek.
Kerentanan ini bukan hanya akibat dari kurangnya kesadaran kolektif, tetapi juga kompleksitas geografis dan budaya. Namun, yang paling fatal adalah kegagalan para elit untuk mengatasi perbedaan demi kepentingan nasional yang lebih besar. Mereka membiarkan kekuatan luar menjadi penentu dalam perselisihan lokal.
Pada akhirnya, Analisis Politik sebelum kedatangan Belanda menyoroti bahwa perpecahan merupakan pintu masuk utama kolonialisme. Ketika Cornelis de Houtman tiba di Banten, ia menemukan sebuah panggung politik yang siap untuk diadu domba, membuka jalan bagi dominasi VOC selama berabad-abad.